Rabu, 08 Januari 2014 0 komentar

Tulisan Bahasa Indonesia 2 (20)



Pemerintah Salah Kebijakan, Kenapa Gas Enggak Disubsidi?
JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pemerintah soal subsidi bahan bakar dinilai salah. Seharusnya subsidi diberikan untuk elpiji, bukan untuk bahan bakar minyak (BBM).

"Enggak semua kampung punya biogas kotoran sapi. Makanya saya bilang, pemerintah salah kebijakan, kenapa gas enggak disubsidi?" kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Balaikota Jakarta, Senin (6/1/2014).
Menurut Basuki, subsidi selayaknya diberikan untuk semua tabung gas, bukan hanya untuk tabung gas 3 kg. Potensi penyelewengan subsidi pada gas, kata dia, lebih kecil dibanding BBM.

Kalau Pertamina mengaku rugi, ia mempertanyakan kenapa tidak mencabut subsidi BBM dan mengalihkannya pada gas. Proyek pengendalian konsumsi BBM dalam bentuk Radio Frequency Identification (RFID) yang menghabiskan dana Rp 800 miliar, menurutnya, lebih baik dialihkan untuk subsidi elpiji.

Basuki menyadari posisinya sebagai Wakil Gubernur akan dipandang tidak elok bicara soal kemelut kenaikan harga elpiji.

"Saya susah nanti kalau ikut campur, orang ribut sama saya. Nanti dibilang wagub komentarin pusat lagi," ujarnya.
Di Jakarta, tabung elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp 78.000 melonjak 68 persen menjadi Rp 138.000. Akibatnya, sejumlah anggota masyarakat beralih ke tabung elpiji 3 kilogram yang disubdisi pemerintah.
Banyaknya anggota masyarakat yang beralih ini pun membuat tabung elpiji 3 kilogram semakin sulit ditemukan di pasar. Pertamina berdalih terpaksa menaikkan harga elpiji 12 kilogram sebagai akibat dari bisnis yang terus merugi.
Analisis : artikel menjelaskan bahwa lebih menguntungkan memberikan subsidi kepada gas dari pada ke bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki resiko yang amat besar.


0 komentar

Tulisan Bahasa Indonesia 2 (19)



Lima Bidang Usaha Dibuka untuk Asing

JAKARTA– Pemerintah membuka lima bidang usaha serta merelaksasi 10 subsektor usaha lainnya agar bisa dimasuki investor asing. Upaya ini dilakukan untuk menggenjot investasi di masa mendatang.

Dari lima bidang usaha yang sebelumnya termasuk dalam daftar negatif investasi (DNI), empat di antaranya terkait sektor perhubungan. Keempat bidang usaha tersebut adalah pengelolaan (operator) bandara, operator pelabuhan, jasa kebandaraan, dan jasa pengelolaan terminal darat untuk barang. Satu bidang usaha lainnya adalah bidang usaha periklanan.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar menjelaskan, kepemilikan asing yang terbuka untuk lima bidang usaha tersebut lebih pada kepemilikan saham, bukan pada kepemilikan aset seperti tanah. “Pengelolaan bukan kepemilikan aset. Ini skema yang lebih mantap lagi buat KPS (kerja sama pemerintah swasta),” tutur Mahendra seusai menghadiri rapat koordinasi terkait DNI di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.

Mahendra berharap, terbukanya bidang usaha pengelolaan operator bandara bisa mempercepat pembangunan bandara yang rencananya menggunakan skema KPS seperti bandara baru di Yogyakarta serta Bali. “Kalau kepemilikan aset kan oleh Angkasa Pura. Kalau dalam pengelolaan, bisa melibatkan pihak lainnya disesuaikan dengan penyusunan skema bisnis,” tandasnya.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2010 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, pengelolaan operator bandara merupakan satu dari ratusan bidang usaha yang masuk DNI. Dengan revisi DNI, maka pengelolaan operator bandara yang sebelumnya tertutup kini kepemilikannya bisa terbuka 100% untuk asing.

Kepemilikan operator pelabuhan kini bisa dimiliki oleh asing sebesar 49% sedangkan kepemilikan jasa pengelolaan terminal darat untuk barang dibuka 49%. Sementara, kepemilikan saham bidang usaha periklanan yang sebelumnya tertutup kini terbuka untuk asing sebesar 51%. “Tapi, 51% ini hanya dimungkinkan untuk (investor asing) ASEANsaja,” tandasMenko Perekonomian Hatta Rajasa. Kendati demikian, Hatta mengingatkan bahwa revisi DNI masih bisa berubah.

Pasalnya, pemerintah bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan kembali membahas revisi DNI tersebut. Sementara, 10 subsektor usaha yang kemungkinan besar akan direlaksasi agar kepemilikan saham asingnya meningkat di antaranya adalah farmasi dari kepemilikan asing yang diperbolehkan sebesar 75% menjadi 85%, wisata alam berbasis kehutanan dari 49% menjadi 70%, distribusi film menjadi 49%,

jasa keuangan modal ventura dari 80% menjadi 85%, provider telekomunikasi, baik fixed line, multimedia, dan telepon seluler menjadi 65%, uji kelayakan kendaraan bermotor menjadi 49%, serta rumah sakit khusus untuk spesialisasi. “Rumah sakit khusus untuk spesialis sudah terbuka tapi rumah sakit umum tidak terbuka,” imbuh Hatta. Terkait kemungkinan dibukanya sektor industri alkohol, Mahendra menegaskan bahwa revisi DNI tidak menyentuh sektor tersebut.

Dengan demikian, investor asing tetap tidak diperbolehkan menanamkan modalnya di industri minuman keras. Demikian juga dengan sektor pendidikan. Sektor ini masuk dalam kategori non-komersial sehingga tertutup untuk dikomersialkan ke asing. “Kalau direvisi (yang baru), (alkohol) tetap tertutup,” ucapnya. Ketua Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, revisi DNI tetap mengedepankan kepentingan nasional.

Menurutnya, meskipun modal asing kini boleh masuk ke sejumlah bidang usaha, mereka hanya bersifat pendamping. “Asing jadi pelengkap. Ini harus saling menguntungkan,” tandasnya. Sofjan berharap, keterlibatan asing ke dalam bidang usaha bisa meningkatkan kemampuan industri nasional serta transfer teknologi. “Membawa Indonesia menjadi mitra asing di ritel logistik dan lain-lain. Teknologinya juga diberikan,” ucapnya.

Analisis : menurut saya baik bidang-bidang usaha dibuka untuk asing jika tujuannya untuk mendapatkan investor asing, tetapi tetap harus kepemilikan asset di pegang oleh kita. Jangan sampai 100% di kuasai oleh pihak asing.


0 komentar

Tulisan Bahasa Indonesia 2 (18)



Di Balik Kenaikan Tingkat Pengangguran
Kondisi ketenagakerjaan pada bulan Agustus tahun ini memburuk. Hal ini terkonfirmasi dari statistik ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin lalu (6 November). BPS melaporkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen atau mengalami peningkatan sebesar 0,11 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada Agustus tahun lalu.
TPT menunjukkan persentase angkatan kerja yang sama sekali tidak bekerja. Sementara angkatan kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang aktif secara ekonomi  (economically active) untuk memperoleh—atau membantu memperoleh—pendapatan. Jadi, TPT sebesar 6,25 persen bermakna bahwa sekitar 6 dari setiap 100 angkatan kerja pada Agustus 2013 sama sekali tidak bekerja.
Pada Agustus 2013, jumlah angkatan kerja diperkirakan mencapai  118,2 juta orang. Dengan demikian, jumlah penganggur mencapai 7,39 juta orang. Angka ini mengalami kenaikan sebesar  0,15 juta orang bila dibandingkan dengan kondisi pada Agustus 2012.
Sebetulnya, kenaikan tingkat pengangguran pada Agustus 2013 mengkonfirmasi rendahnya kualitas ketenagakerjaan di negeri ini. Secara faktual, meski TPT cukup rendah, sebagian besar angkatan kerja yang bekerja  sebetulnya bergelut di sektor informal. Pada Agustus 2013, misalnya, sekitar 62 persen angkatan  kerja yang bekerja “mengais nasi” di sektor informal. Sebagaimana diketahui, para pekerja di sektor informal lebih diasosiasikan dengan ketiadaan jaminan kerja (kontrak kerja dan perlindungan sosial) dan pendapatan yang rendah.
Pada Agustus 2013, TPT mengalami lonjakan karena Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang memotret kondisi ketenagakerjaan dihelat bersamaan denga bulan Suci Ramadhan. Pada bulan ini—terutama menjelang dan beberapa hari setelah Idul Fitri, banyak pekerja di sektor informal yang memutuskan berhenti bekerja untuk sementara waktu.
Dengan demikian, tantangan pemerintah dewasa ini sebetulnya bukan hanya bagaimana menekan angka pengangguran serendah mungkin. Yang juga tidak kalah penting adalah penyediaan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi angkatan kerja. Apa gunanya TPT relatif rendah, namun pada saat yang  bersamaan sebagian besar angkatan kerja bergelut di sektor informal.
Tidak usah heran bila banyak penduduk negeri ini yang mengadu nasib sebagai TKI di negeri orang—meski di sektor informal. Ini adalah konsekuensi dari ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan berkualitas dengan pendapatan yang mencukupi bagi mereka di dalam negeri.
Sebagai bangsa tentu kita malu kala menyaksikan para TKI kita terlunta-lunta dan dideportasi di negeri orang seperti yang sedang ramai diberitakan oleh pelbagai media belakangan ini. Kondisi seperti ini sudah sepatutnya tidak terus berulang.
Analisis : pemerintah harus bekerja keras untuk mengurangi tingkat pengangguran di Negara Indonesia ini, dan juga menjaga tenaga-tenaga produktif hijrah ke Negara-negara lain untuk mendapatkan pekerjaan.


0 komentar

Tulisan Bahasa Indonesia 2 (17)


Indonesia Akan Mengalami Krisis Pangan



AKARTA, BP - Peneliti pangan asal Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso memprediksi Indonesia akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017. Prediksi ini berdasarkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia yang semakin hari terus meningkat.
Hal ini disampaikannya menanggapi hasil riset terbaru Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan tentang pangan komunitas. Riset tersebut menunjukan  bahwa lahan pertanian di Indonesia khususnya Pulau Jawa semakin menyusut.

"Sampai 2014 pangan kita masih aman. Tapi kalau tren ini terus berlanjut, pada tengah pemerintahan mendatang akan terjadi," kata Andreas dalam acara peluncuran hasil riset tentang pangan komunitas di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/10).
Andreas mengatakan, minimnya lahan ditambah dengan ketergantungan akan impor membuat harga pangan semakin mahal. Karenanya, jika pemerintah tidak mengatasi masalah ini maka harga pangan dipastikan tidak akan bisa terjangkau oleh masyarakat.
"Kalau impor kita tinggi dan negara pengekspor tidak punya stok maka negara kita bisa kolaps," ujar dosen IPB tersebut.
Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengambil sampel lahan sawah di Karawang, Jawa Barat. Selama kurun waktu 1989-2007, laju alih fungsi lahan di Karawang mencapai 135,6 hektare per tahun. Artinya, selama periode tersebut lahan sawah di Karawang berkurang sebanyak 2.578 hektare.
Ayip Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengatakan, luas lahan pertanian di Karawang menyusut dari 94 ribu hektare menjadi 92 ribu hektare. Lahan pertanian dikonversi menjadi wilayah industri, perumahan, maupun infrastruktur jalan.
"Kalau begini terus, status Kabupaten Karawang sebagai lumbung beras nasional pelan-pelan akan hilang," ujar Ayip.
Ayip menambahkan, program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ikut bekontribusi mengurangi lahan pertanian di Karawang. Menurutnya, proyek pembangunan pelabuhan Cilamaya dan jalan penghubungnya menghabiskan persawahan sekitar 60 hektare.
"Jika rata-rata produksi di wilayah ini 5 ton per hektare maka akan hilang sebanyak 300 ton gabah," paparnya.
Penelitian yang dibiayai Oxfam ini juga memotret situasi pangan di Sumba Timur, NTT dan Nabire, Papua. Ketahanan pangan di dua daerah tersebut mengkhawatirkan karena kendala iklim dan resiko bencana.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Rizal Edy Halim mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mencegah konversi lahan pertanian. Namun, ia mengakui bahwa kebijakan tata ruang itu belum dijalankan oleh seluruh provinsi.
"Ada 17 provinsi yang sudah selelsai tata ruangnya, dan 16 belum. Yang belum selesai nanti kita evaluasi dulu," kata Rizal. (dil/jpnn)
Analisis : kita harus menjaga lahan untuk kebutuhan pangan kita kedepannya agar tidak mengalami krisis pangan. Janganlah semua lahan-lahan dirubah menjadi gedung-gedung pencakar langit.


 
;